Thursday, April 10, 2014

BUDAYA ISLAMI DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN SASAK


Pengembangan kebudayaan nasional diarahkan untuk memberikan wawasan budaya dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara serta ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia, memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa.
Hal ini penting, karena manusia Indonesia bukan hidup di lingkungan tradisional daerahnya saja. Akan tetapi, hidup menurut tiga lingkungan sesuai dengan komunikasi modern masa kini yaitu : hidup dalam alam tradisional, alam Indonesia sebagai suatu bangsa kesatuan dan dalam alam internasional sebagai bagian dari peradaban dunia.
Dalam posisi keterdesakan eksistensi budaya sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi, bukan berarti dapat menghilangkan keberadaan suatu negara, melainkan justru pada saat itulah kita sebagai masyarakat Indonesia akan membuktikan jati diri dengan tidak terseret dalam arus globalisasi yang dapat mengakibatkan kita kehilangan kepribadian di mata internasional.
Pancasila dan UUD 1945 merupakan  pijakan dan arah perjuangan dalam membangun negara republik Indonesia ini menuju masyarakat adil dan makmur lahir maupun batin dalam hubungan kehidupan berbudaya sesuai dengan tuntutan kepribadian masyarakat Indonesia.
Dalam pada itu, derasnya arus modernisasi dengan seluk-beluknya yang serba canggih hadir membawa perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat kita, baik melalui transpormasi informasi dan pertukaran teknologi maupun melalui kehadiran turis-turis asing yang berkunjung ke Indonesia.
Kenyataan ini telah dapat kita lihat pada perubahan pola kehidupan masyarakat Indonesia dan khususnya  pola kehidupan masyarakat Sasak yang secara tidak sadar telah mulai meninggalkan bentuk-bentuk kehidupan lama dan beralih pada bentuk kehidupan baru dengan segala kemudahannya.
Generasi muda kita misalnya, hampir sebagian besar telah terjangkit oleh kegiatan-kegiatan budaya barat, baik seperti cara berpakaian, bergaul, dan lain sebagainya yang pada akhirnya kebudayaan asli daerah dengan segala nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan hilang dari diri kita sebagai masyarakat suku Sasak secara keseluruhan.
Dalam kemelut peradaban dunia saat ini, sesungguhnya kita sebagai masyarakat suku Sasak yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia seharusnya menjadi semakin eksis sebagai sebuah bagian dari kemajemukan bangsa yang berbudaya.
Berdasar pada pemikiran di atas, maka upaya untuk melestarikan budaya bangsa sangat diperlukan ,dengan terlebih dahulu memperkokoh kelestarian budaya daerah yang merupakan unsur kebudayaan bangsa, yang meliputi upacara adat, daur hidup, seni daerah, permainan rakyat, pelestarian peninggalan purbakala, sehingga tetap hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Salah satu bentuk upacara tradisional yang hingga saat ini masih dilaksanakan dan terjaga kelestariannya dalam kehidupan budaya masyarakat suku Sasak adalah tradisi budaya perkawinan. Tradisi  budaya perkawinan ini merupakan salah satu bentuk upacara adat yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan keagamaan. Akan tetapi, dalam kehidupan sosial masyarakat suku sasak tampak bahwa pelaksanaan berbagai bentuk upacara tradisional termasuk pula pelaksanaan upacara adat perkawinan ini semakin kehilangan bentuk dan nilai. Bahkan, tidak mustahil pada suatu saat nanti bentuk upacara adat dalam perkawinan akan hilang dalam kehidupan budaya masyarakat.
Hal ini dapat terjadi karena dalam pelaksanaan upacara-upacara tradisional terutama upacara adat perkawinan dalam masyarakat, secara umum sepertinya tidak lagi dilaksanakan dengan pemahaman nilai yang terkandung dalam pelaksanaan upacara dimaksud. Sementara pada sisi lain, kemajuan teknologi dan masuknya paham-paham baru pada bidang agama juga  mempengaruhi pola pikir masyarakat  dewasa ini.

B.       Prosesi Perkawinan  Adat Sasak
Seperti halnya masyarakat pada umumnya, masyarakat suku Sasak pun mengenal dan memiliki bentuk-bentuk budaya sendiri yang merupakan bentuk prilaku masyarakatnya. Kebudayaan dimaksud dapat berupa tata kelakuan masyarakat, bahasa, sistem kepercayaan, upacara-upacara adat dan sebagainya.
 Sehingga, dalam kehidupan masyarakat suku Sasak dikenal adanya beberapa bentuk kebudayaan yang meliputi tahapan-tahapan penting bagi tiap-tiap individu dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya sejak masa sebelum lahir,masa kelahiran,masa anak-anak,masa remaja,masa dewasa,masa perkawinan hingga dengan saat kembali kekhadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Tahapan-tahapan  kehidupan manusaia ini dalam dunia antropologi dikenal dengan sebutan Stages along the life cycle. Istilah ini diterjemahkan oleh Kuntjaraningrat sebagai tingkatan-tingkatan sepanjang hidup individu. ( 1967 : 84 ).
Bagi masyarakat suku Sasak kelahiran dan kematian merupakan jenjang keberadaan manusia di dunia ini. Di antara kelahiran dan kematian itu akan tercipta rangkaian-rangkaian peristiwa yang merupakn romantika kehidupan.  
Salah satu bentuk budaya masyarakat suku Sasak yang menjadi rangkaian dari upacara di atas dan  masih tetap hidup serta dipertahankan pelaksanaanya hingga saat ini, khususnya bagi masyarakat   adalah upacara adat Perkawinan yang  merupakan salah satu bentuk tradisi budaya yang dilaksanakan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Upacara adat Perkawinan sebagai salah satu bentuk prilaku dalam kebudayaan suatu masyarakat, secara universal telah dikenal dan dilaksanakan oleh semua bentuk kebudayaan yang ada di atas bumi ini. Terbentuknya sebuah masyarakat tiada lain dari kumpulan keluarga-keluarga batih. Tiap-tiap keluarga batih dibentuk melalui sebuah perkawinan. Dengan kata lain, masyarakat terbentuk dan berkembang dari kumpulan keluarga sebagai hasil sebuah perkawinan.
Seperti halnya masyarakat budaya lainnya, masyarakat suku Sasak pun telah mengenal dan memiliki sistem budaya perkawinan sendiri. Sistem budaya perkawinan ini merupakan bentuk kearifan lokal prilaku masyarakatnya. Bagi masyarakat suku sasak, sebuah perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dan sacral. Sehingga, dalam pelaksanaan upacara perkawinan, masyarakat melaksanakannya dengan cara yang juga sangat disakralkan.
Pelaksanaan upacara Perkawinan bagi masyarakat suku Sasak  merupakan salah satu bentuk tradisi budaya yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan perkawinan bagi masyarakat suku Sasak pastilah akan melalui tahapan-tahapan prosesi perkawinan. Adapun beberapa bentuk tahapan kegiatan prosesi adat dalam pelaksanaan upacara Perkawinan  pada masyarakat suku Sasak, meliputi ;
1.      Tahap Merariq
Setelah melalui proses nenari, dilaksanakanlah proses merariq sesuai dengan kesepakan waktu yang telah ditetapkan oleh kedua calon pengantin. Seorang calon pengantin wanita biasanya akan keluar dari rumah secara diam-diam tanpa diketahui oleh pihak keluarganya. Sementara calon pengantin laki-laki akan menunggu di tempat yang telah disepakati.
Secara umum, masyarakat suku Sasak memahami makna merariq dengan sebutan memaling.  Padahal, istilah merariq memiliki  makna yang berbeda dengan memaling. Meskipun dalam proses merariq merupakan sebuah kegiatan membawa lari seorang wanita secara sembunyi-sembunyi untuk dijadikan istri oleh seorang pria, akan tetapi proses merariq terjadi atas kesepakatan bersama antara kedua belah pihak.
Di samping itu, dalam proses pelaksanaannya, merariq tentulah harus tetap berpatokan pada awiq-awiq (aturan) yang berlaku dalam masyarakat suku Sasak. Dengan demikian, Merariq tidak akan dapat disamakan dengan memaling yang memiliki konotasi sangat buruk.
Pada dasarnya, kata merariq merupakan akronim dari bahasa Sasak yaitu kata me yang memiliki arti silakan atau ayo dan kata berari yang memiliki makna berlari.
Dengan demikian, secara bebas dapat dikemukakan pengeertian Merariq sebagai kata/istilah yang memiliki makna mari kita berlari.
2.        Mesejati
Mesejati berasal dari  kata sejati yang berarti benar-banar.  Proses adat mesejati ini dilaksankan keitannya dengan proses merariq. Mesejati harus dilaksanakan karena merariq dilaksnakan secara diam-diam sehingga masih menimbulkan pertanyaan
Secara makna pilosfis  mesejati memiliki pengertian sebagai bentuk kegiatan melaporkan/memberikan keterangan tentang terjadinya sebuah proses merariq. Kegiatan mesejati ini dilakukan oleh pemerintah desa tempat tinggal calon mempelai laki-laki kepada pemerintah desa asal calon pengantin wanita.

3.        Selabar
Pengertian kata selabar diungkapkan sebagai suatu bentuk kegiatan tindak lanjut dari kegiatan mesejati. Kata selabar berasal dari kata selobor yang memiliki makna penerang. Selabar dilaksanakan sesuai dengan kesiapan pihak keluarga mempelai wanita  menerima kedatangan rombongan selabar.
Jika pada proses adat mesejati dilaksanakan  kegiatan awal untuk memberitahukan tentang proses merariq oleh pihak pemerintah, maka kegiatan selabar dilaksakan dalam bentuk memberikan informasi lebih jelas tentang terjadinya proses merariq, identitas jelas calon pengantin laki—laki baik menyangkut bibit, bobot dan bebetnya. Sehingga, proses selabar ini meruapakan tahap silaturrahim awal pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai wanita.
4.      Nuntut Wali
Setelah proses selabar dapat diterima, pada hari yang telah disepakati keluarga calon mempelai laki-laki akan berkunjung kembali untuk membicara hari pelaksanaan akan nikah. Bagi masyarakat suku Sasak di , perhitungan hari baik (urige) masih diutamakan. Sehingga, pada proses nuntut wali ini akan dibicarakan tentang hari baik pelaksanaan akad nikah, mas kawin,. NA, Surat Nikah dan sebagainya.
5.      Ngawinang/Nikahang
Masyarakat suku sasak meupakan mayoritas pemeluk agama Islam. Oleh karena itu, pelaksanaan acara nikah harus segera dilaksanakan dengan berpegang pada ketentuan agama dalam proses pelaksanaannya.
6.      Upacara Sorong Serah Aji Krama
Puncak acara dari serangkaian prosesi acara adat perkawinan pada masyarakat suku Sasak adalah upacara adat Sorong Serah Aji Krama. Pelaksanaan acara Sorong Serah Aji Krama ini telah disepakati pada saat pembicaraan Bait Janji.
Jika dimaknakan, kata Sorong Serah Aji krama berasal dari kata Sorong Serah dan Aji Krama. Sorong Serah merupakan kata majemuk yang berarti serah terima, sedangkan Aji Krama terdiri atas kata Aji yang berarti nilai dan krama yang berarti adat atau kebiasaan. Jadi, dapat dibatasi pengertian Sorong Serah Aji Krama sebagai bentuk acara serah terima nilai adat yang telah dibiasakan.
Selain pengertian di atas, ada juga yang berpendapat bahwa istilah aji krama berdasarkan pada kata aji dan karma. Aji dimaknakan raja atau datu, sedangkan krama berasal dari kata kraman yang bermakna sekumpulan orang-orang desa pada satu wilayah kesatuan hukum. Istilah kraman pertama kali ditemukan pada prasasti Dausa Pura Bukit Indra Kila pada tahun 864 saka (Pusat Penelitian Arkeologi Departemen P dan K).
Di samping dua pengertian di atas, istilah Aji Krama juga dimaknakan dari kata aji yang berarti bapak dan krama yang berarti adat. Pada pengertian ini, aji karma diartikan bapaknya adat. Dengan kata lain, makna acara sorong serah Aji Krama merupakan prosesi wisuda atau peresmian atas kelahiran keturunan dari sebuah perkawinan. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat suku sasak menganut paham Patrialisme.

C.     Budaya Islami dalam Upacara Adat Perkawinan (Sorong Serah) Pada Masyarakat Suku Sasak
1.    Pola Pikir Religius dalam Hubungan Sosial Masyarakat Suku Sasak
Dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, masyarakat suku Sasak selalu berpegang kepada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah  menciptakan semua manusia. Dengan pandangan bahwa semua manusia merupakan makhluk Tuhan Yang Maha Esa, telah membuahkan sikap untuk selalu berbuat baik kepada sesama manusia.
Demikian dekat hubungan antara kebudayaan suku Sasak dengan tata nilai Islam sehingga dalam masyarakat suku Sasak berkembang konsep “ Endeqne dengan Sasak lamun endeqne Islam”
Tekad untuk selalu memelihara hubungan yang baik dan harmonis dengan sesama manusia telah membuahkan tata nilai yang mengajarkan untuk selalu mengutamakan sikap terpuji seperti ; sikap jujur,setia,berani dan suka berbuat baik kepada sesamaya, serta harus dapat menghindari sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat baik tersebut, yang dalam kehidupan masyarakat suku Sasak dinamakan maliq. Maliq merupakan sifat yang terlarang menurut adat dan kesusilaan.
 Penanaman sifat-sifat baik yang sesuai dengan norma susila masyarakat ini dimulai semenjak bayi masih dalam kandungan, setelah kelahirannya hingga ia kembali ke alam bakaq.
Sejalan dengan  pola pikir dan pandangan masyarakat itulah, maka upacara adat perkawinan yang dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat suku Sasak  khususnya di  Kecamatan Masbagik tetap berpegang pada norma-norma agama.
Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan terdapat berbagai tahapan-tahapan kegiatan sebagaimana telah diuraikan di atas, Pada tahap-tahap kegiatan ini terlihat adanya hubungan yang sangat dekat antara kebudayaan dengan tata nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, masih sangat nampak sikap gotong royong yang kental  antarindividu dalam masyarakat. Pada setiap tahap prosesi adat perkawinan, semua tetangga dan keluarga akan berkumpul  untuk bekerja besama-sama mempersiapkan acara tersebut. Semuanya akan dikerjakan bersma-sama secara gotong royong tanpa mengharapkan imbalan.
Pola pandangan yang menganggap bahwa semua manusia adalah panjak Neneq  (hamba Tuhan) telah membuahkan tata nilai untuk tetap berbuat baik kepada sesama manusia. Alam semesta, bumi, langit adalah milik bersama. Sehingga, berdasarkan pandangan ini dalam masyarakat suku Sasak terlihat adanya hubungan yang sangat kental dengan nilai kebersamaan dan kekeluargaannya. Sebagai satu bukti, meskipun masyarakat suku sasak mengenal milik pribadi tetapi dalam pernyataan lisan, mereka akan  selalu mengatakan sawah kita, kebun kita, bahkan anak kita, dan sebagainya.
Sikap batin masyarakat suku Sasak khususnya di  , cendrung pada anggapan bahwa segala sesuatu merupakan milik bersama, dipelihara bersama dan dimanfaatkan bersama. Kenyataan seperti ini telah melahirkan sistem gotong royong dan tolong menolong tanpa mengharapkan imbalan. Sistem gotong royong dan tolong menolong ini dikenl dengan istilah besiru.
Sikap kebersamaan dan kekeluargaan ini pun dapat dilihat dalam pelaksanaan semua tahapan upacara adat perkawin. Sifat kekeluargaan dan kebersamaan ini nampak dari tamu yang hadir, Secara umum masyarakat suku Sasak sangat mengutamakan untuk mengundang keluarga dan tetangga dekat.

2.      Makna Simbolis dan Kajian Nilai Islami dalam Kelengkapan Upacara Adat Sorong Serah Aji Krama
Di samping melalui beberapa bentuk pengungkapan di atas, nilai-nilai sosial dalam upacara adat Sorong Serah Aji Krama ini diungkapkan pula melalui penggambaran-penggambaran. Penggambaran-penggambaran ini diharapkan dapat dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran bagi masyarakat.
Bagi  nenek moyang suku Sasak, pengungkapan nilai-nilai pilosofis dengan penggambaran-penggambaran melalui media, merupakan salah satu alternatif yang digunakan dengan pengungkapan makna yang tersirat di dalam penggambaran tersebut. Misalnya saja melalui media benda seperti : bulan, matahari, gunung,  dan sebagainya.
Demikian pula dalam upacara adat Sorong Serah Aji Krama, tidak akan lepas  dari bentuk pengungkapan terhadap nilai-nilai sosial dan agama yang diungkapkan melalui penggambaran-penggambaran, baik dalam bentuk benda maupun pemakaian  bahasa.
Bentuk penggambaran yang dalam upacara ini, menggunakan media benda-benda yang mengandung makna pilosofis yang sangat tinggi. Makna pilosofis dalam kelengkapan utama upacara ini yang dikemas dalam bentuk benda dengan makna yang terkandung sebagai berikut ;
a.       Aji Krama
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Aji Krama merupakan nilai kebiasaan yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat sebagai bentuk penghargaan terhadap status sosial yang dimiliki.
Pembagian Aji Krama pada masyarakat suku Sasak berdasarkan pembagian tingkatan kelompok  masyarakatnya. Pembagian tingkatan masyarakat ini dinamakan kasta atau dalam ilmu sosiologi dikenal dengan istilah Stratifikasi Sosial.
Di samping itu, Pembagian Aji Krama memiliki hubungan yang  erat dengan masuknya agama Islam di pulau Lombok. Karena itu, besarnya Aji Krama dilakukan berdasarkan pada jumlah hitungan tasbih yang biasa digunakan, yaitu  99, 66, dan 33.Pemberian Aji Krama dengan nilai seperti ini merupakan bentuk penghargaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat, sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat.
Seorang raja, karena memiliki fungsi dan tanggung jawab yang  paling besar jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, diberikan penghargaan tertinggi. Demikian juga para pejabat, karena mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang lebih besar jika dibandingkan dengan orang-orang biasa/rakyat biasa, diberikan penghargaan yang sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya.
Meskipun pada dasarnya manusia adalah sama, tetapi masing-masing orang atau kelompok masyarakat pastilah memiliki fungsi dan tanggung jawab berbeda dalam masyarakat.Berdasar pada pertimbangan inilah, kemudian pembagian Aji Krama  diberikan secara berbeda bagi masing-masing kelompok masyarakat tersebut..
Pada awalnya, Aji Krama dalam masyarakat  suku Sasak terbagi atas empat tingkatan Aji (Nilai), dengan urutan yang disesuaikan dengan stratifikasi sosial  dalam   masyarakatnya, yang meliputi   :
Raden                                   =  99 (dase wisakti/satus)
Permenak                             = 66 (sawidag sawidagsi/enem dase  enem)
Parawangse                          =  33 (katri dase katri / tigang dase tiga)
Jajar Karang                         =  10,400 (selakse samas)
Adapun perhitungan terhadap kajian nilai dari bentruk pembagian Aji Krama di atas, dapat dikemukakan sebagaoi berikut :
No
Aji Krama
Perhitungan
Jumlah
Hasil Akhir
1.
99
9 x 9 = 81
8 + 8 = 9
9
2.
66
6 x 6 = 36
3 + 6 = 9
9
3.
33
    3 x 3 =   9
9
9

Kajian nilai Islam yang dimaksud dalam perhitungan pembagian aji karma di atas adalah setiap Aji Krama akan memiliki hasil akhir sama yaitu angka 9. Dalam pandangan masyarakat suku Sasak, angka 9 merupakan nilai kemanusiaan. Sedangkan nilai 10 sebagai nilai sempurna adalah nilai yang dimiliki oleh Allah SWT.
Artinya, pada dasarnya setiap manusia yang dilahirkan di atas bumi ini adalah sama,yaitu sebagai makhluk Allah yang diutus menjadi khalifah untuk mengatur kehidupan di atas dunia ini.
Akan tetapi, menurut pandangan masyarakat suku Sasak bahwa atas kehendak Allah SWT masing-masing kelompok manusia telah diberikan kemampuan yang berbeda dalam pencapaian tingkat kemanusiaannya. Sehingga, dapat dikemukakan gambaran sebagai berikut :
1.      pada waktu dulu, kelompok masyarakat yang memiliki Aji Krama 33 adalah kelompok masyarakat yang dalam kehidupan sehari-hari hanya mengurus kehidupan diri dan keluarganya saja dan hanya menerima segala kebijkan dan aturan pimpinan. Sehingga, dalam tataran bilangan bacaan tasbih, kelompok masyarakat ini digambarkan memiliki tingkat kemanusiaan hanya pada ucapan “Subhanallah”.
2.      sedangkan kelompok masyarakat yang memiliki bilangan Aji Krama 66, merupakan kelompok masyarakat yang memiliki fungsi sebagai pelaksana kebijakan pimpinan/Raja. Mereka adalah para pemangku jabatan tertentu dalam masyarakat.
Karena memiliki tugas dan fungsi dalam masyarakat, maka kelompok masyarakat seperti ini diberikan dengan Aji Krama 66 sesuai dengan bilangan tasbih kedua. Masyarakat dengan aji 66 ini digambarkan sebagai kelompok masyarakat yang dalam ucapan tasbih telah mampu mencapai tingkat kemanusiaan hingga ucapan “ Subhanallah, Walhamdulillah”
3.       demikian pula dengan kelompok masyarakat tertinggi dalam massyarakat suku sasak, digambarkan dengan Aji Krama 99. pemberian penghargaan dengan Aji Krama 99 disesuaikan dengan tingkat tugas dan fungsi seorang pimpinan/Raja.
Seorang raja dan keluargaanya merupakan kelompok masyarakat yang memiliki fungsi strategi sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat. Mereka adalah penentu kebijakn dan peraturan yang akan menentukan nasib rakyatnya.
Demikian berat tugas dan fungsi seorang raja/pimpinan, shingga dalam bilangan bacaan tyasbih diganmbarkan sebagai kelompok masyarakat yang telah mencapai tingkat ” Subhanallah, Walhamdulillah, Allahu Akbar.
Sehubungan dengan pembagian Aji Krama di atas, dalam masyarakat suku Sasak di , hanya mewarisi pembagian Aji Krama :33 dan 10.400. pembagian Aji Krama ini dimiliki oleh kelompok Parawangse yaitu 33 (katri dase katri / tigang dase tiga) dan Jajar Karang yaitu 10,400 (selakse samas).
Pembagian Aji Krama yang ada saat ini, ditentukan pemakaiannya  berdasar pada kebijakan dan alasan-alasan yang sesuai dengan kepatutan bagi masyarakat . Pembagian Aji Krama yang ada sekarang ini, semata-mata untuk menjaga kemurnian sebuah keturunan.
Aji krama terdiri atas tiga bagian, yaitu :
1.      Sesirah/Otak Bebeli
Sesirah berasal dari kata Sirah yang artinya kepala. Sehingga, sesirah berfungsi melambangkan jati diri dan nilai yang melekat pada keluarga pengantin pria secara turun menurun. Sesirah biasanya ditandai dengan benda seperti emas, perak atau perunggu. Pemakain logam mulia ini akan disesuaikan dengan status sosial keluarga pengantin pria.
2.      Napak Lemah
Napak Lemah terdiri atas dua kata yaitu kata napak yang berarti kaki dan lemah yang berarti tanah. Napak Lemah bermakna menginjakkan kaki di tanah. Napak lemah merupakan simbol keberadaan manusia yang diturunkan oleh Allah di muka bumi ini sebagai khalifatul ardi.
Tugas dan fungsi manuia dalam dunia sebagai khalifatul ardi ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Ayat

Artinya : Dan tiada aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.

Manusia diciptakan di atas bumi ini tidak hanya untuk mencari makan untuk bertahan hidup. Karena sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki akal, manusia membutuhkan lebih dari sekedar bertahan hidup. Manusia membutuhkan kedamaian, perlindungan, penghargaan dan juga aktualisasi diri atas potensi-potensi yang dimiliki.
Akan tetapi dalam melaksanakan eksistensinya sebagai khalifah, manusia diajarkan untuk selalu ingat aka asal penciptaannya yaitu tanah. Masyarkat suku Sasak juga diajarkan untuk selalu ingat kematiannya. Sehingga, tuntunan seperti ini akan menjadi pegangan bagi masyarakat suku Sasak dalam berbuat dan bertingkah laku.
Nilai pilosofis yang tertuang dalam napak lemah ini merupakan implementasi dari tujuan agama yang tertuang dalam firman Allah SWT surat Al-Bayyinah ayat 5, berbunyi :

Artinya : padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus (QS, Al-Bayyinah:5) .

3.      Olen-Olen
Kata olen-olen berasal dari kata len-len atau lian-lian yang berarti lain-lain/berbeda. Olen-olen terdiri atas sejumlah kain yang yang diikat dengan selendang dan  diletakkan pada sebuah peti.
Makna olen-olen ini adalah : masyarakat suku Sasak yang mendiami sebagian besar pulau Lombok ini hidup berkelompok-kelompok dan bertingkat-tingkat. Akan tetapi, mereka tetap berada dalam satu kesatuan dengan ikatan kekeluargaan sebagai masyarakat suku Sasak yang Islam.
Pola pandangan kekeluargaan seperti ini sanghat sesuai dengan nilai Islami yang dikemukakan dalam Al-Qur’an yang berbunyi :

Artinya :  Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu  berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu dapat saling kenal mengenal (Al-Hujurat : 13).

Konsep pandangan masyarakat budaya suku Sasak inipun diilhami oleh hadist Rasulullah SAW yaitu :

Artinya : Bahwasanya antara satu muslimin dengan muslim  
               yang lainnya adalah bersaudara.

Hubungan yang sangat erat antara pelaksanaan hukum Islam dalam konsep budaya masyrakat suku Sasak merupakan perwujudan implementasi konsep Islam dam budaya tradisional kita. 

b.      Arte Gegawan
Selain aji krama, dalam pelaksanaan acara sorong Serah Aji Krama haruslah dilengkapi dengan benda-benda yang disebut Arte Gegawan. Arte gegawan memiliki makna barang-barang bawaan. Arte Gegawan merupakan symbol yang mengandung pilosofis yang sangat tinggi. Arte Gegawan terdiri atas :
1.      Salin Dede
Istilah Salin Dede berasal dari kata Salin dan dede. Kata salin memiliki arti mengganti sedangkan kata dede berarti mangasuh. Sehingga salin dede memiliki pengertian mengganti untuk mengasuh.
Adapun wujud dari salin dede ini adalah kain umbaq, ponjol, ceraken, kedogan (sabuk nganak), semprong tereng,kain putih, benang kataq dan pisau kecil untuk hitanan
Makna utama yang diwakili oleh Salin Dede dalam kegiatan upacara adat Sorong Serah Aji Krama adalah serah terima tanggung jawab dari pihak keluarga pengantin wanita kepada suaminya. Jika selama hidup sejak lahir hingga saat menikah, seorang gadis merupakan tanggung jawab pembinaan ortang tuanya, maka setelah menikah seorang wanita akan menjadi tanggung jawab suaminya.
Konsep pola piker seperti ini merupakan pengejawantahan dari konsep Islami. Kita memahami bahwa konsep Islam telah mengajarkan,  “Apabila seorang perempuan telah menikah, maka nafkahnya wajib ditanggung oleh suaminya” (Rasjid, 2000:375).
2.      Pemecat Sengkang
Wujud benda yang digunakan untuk pemecat Sengkang adalah anting emas yang diletakkan pada sebuah nampan kecil. Karena bagi masyarakat suku Sasak, seorang wanita yang sudah kawin tidak lagi boleh menggunakan anting sebagai perhiasan.
3.      Penjaruman
Selain benda-benda di atas, dalam upacara adapt Sorong serah Aji Krama terdapat sebuah benda berupa jarum dan benang. Benda ini dinamakan penjaruman.
4.      Pelengkak
Pelengkaq merupakan denda yang dikenakan kepada pihak pengantin laki-laki yang berani mengawini seorang gadis yang masih memiliki kakak belum kawin.
5.      Babas Kuta
Babas Kuta atau Pembabas Kute merupakan denda yang diwajibkan untuk dibayarkan oleh pihak pengantin laki-laki karena kehadiran mereka padfa acara Sorong serah Sji Krama dan Nyongkolan menimbulkan kegaduhan dan keramaian.
6.      Krama Desa
Karma desa adalah salah satu kewajiban yang harus ditanggung oleh pihak pengantin laki-laki sehubungan dengan telah membawa seorang gadis dari sebuah desa untuk dijadikan istrinya.
7.      Kor Jiwa
Seperti halnya krama desa, Kor Jiwa juga merupakan salah satu kewajiban yang harus dibayarkan oleh pihak keluarga pengantin laki-laki sebagai bentuk ganti rugi kepada kampong yang telah kehilangan warga sebab sebuah perkawinan.
8.      Pecanangan / Penginang/Karas
Pecanangan merupakan tempat diletakkannya kapur, sirih, pinang, gambir dan tembakau.
Di samping itu, makanan bagi masyarakat suku Sasak merupakan sarana pembinaan solidaritas kelompok masyarakat yang paling menonjol. Sahabat, kenalan ataupun setiap orang yang datang bertamu, selalu dijamu dengan pecanangan.
Sikap dan pola tingkah laku yang demikian itu dibentuk oleh pandangan hidup dan sistem nilai dalam masyarakat yang berazaskan persaudaraan dan kebersamaan. 
9.      Lanjaran
Dalam acara adat pada masyarakat suku Sasak, Lanjaran/rokok merupakan perlengkapan adat yang harus tetap ada.  Biasanya, rokok yang digunakan dalam acara adat adalah rokok yang terbuat dari tembakau dilapisi dengan daun jagung.







No comments:

Post a Comment