Pengembangan kebudayaan nasional diarahkan
untuk memberikan wawasan budaya dan makna pada pembangunan nasional dalam
segenap dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara serta ditujukan
untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia, memperkuat jati diri
dan kepribadian bangsa.
Hal ini penting, karena manusia Indonesia bukan hidup
di lingkungan tradisional daerahnya saja. Akan tetapi, hidup menurut tiga
lingkungan sesuai dengan komunikasi modern masa kini yaitu : hidup dalam alam
tradisional, alam Indonesia sebagai suatu bangsa kesatuan dan dalam alam
internasional sebagai bagian dari peradaban dunia.
Dalam posisi keterdesakan eksistensi budaya
sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi, bukan berarti dapat
menghilangkan keberadaan suatu negara, melainkan justru pada saat itulah kita
sebagai masyarakat Indonesia akan membuktikan jati diri dengan tidak terseret
dalam arus globalisasi yang dapat mengakibatkan kita kehilangan kepribadian di
mata internasional.
Pancasila dan UUD 1945 merupakan pijakan dan arah perjuangan dalam membangun
negara republik Indonesia ini menuju masyarakat adil dan makmur lahir maupun
batin dalam hubungan kehidupan berbudaya sesuai dengan tuntutan kepribadian
masyarakat Indonesia.
Dalam pada itu, derasnya arus modernisasi
dengan seluk-beluknya yang serba canggih hadir membawa perubahan-perubahan
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat kita, baik melalui transpormasi
informasi dan pertukaran teknologi maupun melalui kehadiran turis-turis asing
yang berkunjung ke Indonesia.
Kenyataan ini telah dapat kita lihat pada perubahan pola kehidupan
masyarakat Indonesia dan khususnya pola
kehidupan masyarakat Sasak yang secara tidak sadar telah mulai meninggalkan
bentuk-bentuk kehidupan lama dan beralih pada bentuk kehidupan baru dengan
segala kemudahannya.
Generasi muda kita misalnya, hampir sebagian
besar telah terjangkit oleh kegiatan-kegiatan budaya barat, baik seperti cara
berpakaian, bergaul, dan lain sebagainya yang pada akhirnya kebudayaan asli
daerah dengan segala nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan hilang dari
diri kita sebagai masyarakat suku Sasak secara keseluruhan.
Dalam kemelut peradaban dunia saat ini,
sesungguhnya kita sebagai masyarakat suku Sasak yang merupakan bagian dari
masyarakat Indonesia seharusnya menjadi semakin eksis sebagai sebuah bagian
dari kemajemukan bangsa yang berbudaya.
Berdasar pada pemikiran di atas, maka upaya
untuk melestarikan budaya bangsa sangat diperlukan ,dengan terlebih dahulu
memperkokoh kelestarian budaya daerah yang merupakan unsur kebudayaan bangsa,
yang meliputi upacara adat, daur hidup, seni daerah, permainan rakyat,
pelestarian peninggalan purbakala, sehingga tetap hidup dalam masyarakat itu
sendiri.
Salah satu bentuk upacara tradisional yang
hingga saat ini masih dilaksanakan dan terjaga kelestariannya dalam kehidupan
budaya masyarakat suku Sasak adalah tradisi budaya perkawinan. Tradisi budaya perkawinan ini merupakan salah satu
bentuk upacara adat yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan keagamaan.
Akan tetapi, dalam kehidupan sosial masyarakat suku sasak tampak bahwa
pelaksanaan berbagai bentuk upacara tradisional termasuk pula pelaksanaan
upacara adat perkawinan ini semakin kehilangan bentuk dan nilai. Bahkan, tidak
mustahil pada suatu saat nanti bentuk upacara adat dalam perkawinan akan hilang
dalam kehidupan budaya masyarakat.
Hal ini dapat terjadi karena dalam
pelaksanaan upacara-upacara tradisional terutama upacara adat perkawinan dalam
masyarakat, secara umum sepertinya tidak lagi dilaksanakan dengan pemahaman
nilai yang terkandung dalam pelaksanaan upacara dimaksud. Sementara pada sisi
lain, kemajuan teknologi dan masuknya paham-paham baru pada bidang agama juga mempengaruhi pola pikir masyarakat dewasa ini.
B.
Prosesi
Perkawinan Adat Sasak
Seperti
halnya masyarakat pada umumnya, masyarakat suku Sasak pun mengenal dan memiliki
bentuk-bentuk budaya sendiri yang merupakan bentuk prilaku masyarakatnya.
Kebudayaan dimaksud dapat berupa tata kelakuan masyarakat, bahasa, sistem
kepercayaan, upacara-upacara adat dan sebagainya.
Sehingga, dalam kehidupan masyarakat suku
Sasak dikenal adanya beberapa bentuk kebudayaan yang meliputi tahapan-tahapan
penting bagi tiap-tiap individu dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya
sejak masa sebelum lahir,masa kelahiran,masa anak-anak,masa remaja,masa
dewasa,masa perkawinan hingga dengan saat kembali kekhadirat Tuhan Yang Maha
Esa.
Tahapan-tahapan kehidupan manusaia ini dalam dunia
antropologi dikenal dengan sebutan Stages
along the life cycle. Istilah ini diterjemahkan oleh Kuntjaraningrat sebagai tingkatan-tingkatan
sepanjang hidup individu. ( 1967 : 84 ).
Bagi
masyarakat suku Sasak kelahiran dan kematian merupakan jenjang keberadaan
manusia di dunia ini. Di antara kelahiran dan kematian itu akan tercipta
rangkaian-rangkaian peristiwa yang merupakn romantika kehidupan.
Salah satu
bentuk budaya masyarakat suku Sasak yang menjadi rangkaian dari upacara di atas
dan masih tetap hidup serta
dipertahankan pelaksanaanya hingga saat ini, khususnya bagi masyarakat adalah upacara adat Perkawinan yang merupakan salah satu bentuk tradisi
budaya yang dilaksanakan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Upacara adat Perkawinan sebagai salah satu bentuk prilaku dalam kebudayaan
suatu masyarakat, secara universal telah dikenal dan dilaksanakan oleh semua
bentuk kebudayaan yang ada di atas bumi ini. Terbentuknya sebuah masyarakat
tiada lain dari kumpulan keluarga-keluarga batih. Tiap-tiap keluarga batih
dibentuk melalui sebuah perkawinan. Dengan kata lain, masyarakat terbentuk dan
berkembang dari kumpulan keluarga sebagai hasil sebuah perkawinan.
Seperti halnya masyarakat budaya
lainnya, masyarakat suku Sasak pun telah mengenal dan memiliki sistem budaya
perkawinan sendiri. Sistem
budaya perkawinan ini merupakan bentuk kearifan lokal prilaku masyarakatnya.
Bagi masyarakat suku sasak, sebuah perkawinan merupakan sesuatu yang sangat
penting dan sacral. Sehingga, dalam pelaksanaan upacara perkawinan, masyarakat
melaksanakannya dengan cara yang juga sangat disakralkan.
Pelaksanaan
upacara Perkawinan bagi
masyarakat suku Sasak merupakan salah
satu bentuk tradisi budaya yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan dalam
pelaksanaannya.
Oleh karena
itu, dalam pelaksanaan perkawinan bagi masyarakat suku Sasak pastilah akan
melalui tahapan-tahapan prosesi perkawinan. Adapun beberapa bentuk tahapan
kegiatan prosesi adat dalam pelaksanaan upacara Perkawinan pada
masyarakat suku Sasak, meliputi ;
1.
Tahap Merariq
Setelah melalui proses nenari,
dilaksanakanlah proses merariq sesuai dengan kesepakan waktu yang telah
ditetapkan oleh kedua calon pengantin. Seorang calon pengantin wanita biasanya
akan keluar dari rumah secara diam-diam tanpa diketahui oleh pihak keluarganya.
Sementara calon pengantin laki-laki akan menunggu di tempat yang telah
disepakati.
Secara umum, masyarakat suku Sasak
memahami makna merariq dengan sebutan memaling.
Padahal, istilah merariq memiliki
makna yang berbeda dengan memaling. Meskipun dalam proses merariq
merupakan sebuah kegiatan membawa lari seorang wanita secara sembunyi-sembunyi
untuk dijadikan istri oleh seorang pria, akan tetapi proses merariq terjadi
atas kesepakatan bersama antara kedua belah pihak.
Di samping itu, dalam proses
pelaksanaannya, merariq tentulah harus tetap berpatokan pada awiq-awiq (aturan)
yang berlaku dalam masyarakat suku Sasak. Dengan demikian, Merariq tidak akan dapat
disamakan dengan memaling yang memiliki konotasi sangat buruk.
Pada
dasarnya, kata merariq merupakan akronim dari bahasa Sasak yaitu kata me yang
memiliki arti silakan atau ayo dan kata berari yang memiliki makna berlari.
Dengan
demikian, secara bebas dapat dikemukakan pengeertian Merariq sebagai
kata/istilah yang memiliki makna mari kita berlari.
2.
Mesejati
Mesejati
berasal dari kata sejati yang berarti
benar-banar. Proses adat mesejati ini
dilaksankan keitannya dengan proses merariq. Mesejati harus dilaksanakan karena
merariq dilaksnakan secara diam-diam sehingga masih menimbulkan pertanyaan
Secara
makna pilosfis mesejati memiliki
pengertian sebagai bentuk kegiatan melaporkan/memberikan keterangan tentang
terjadinya sebuah proses merariq. Kegiatan mesejati ini dilakukan oleh
pemerintah desa tempat tinggal calon mempelai laki-laki kepada pemerintah desa
asal calon pengantin wanita.
3.
Selabar
Pengertian kata selabar diungkapkan
sebagai suatu bentuk kegiatan tindak lanjut dari kegiatan mesejati. Kata
selabar berasal dari kata selobor yang memiliki makna penerang. Selabar
dilaksanakan sesuai dengan kesiapan pihak keluarga mempelai wanita menerima kedatangan rombongan selabar.
Jika pada
proses adat mesejati dilaksanakan kegiatan
awal untuk memberitahukan tentang proses merariq oleh pihak pemerintah, maka
kegiatan selabar dilaksakan dalam bentuk memberikan informasi lebih jelas
tentang terjadinya proses merariq, identitas jelas calon pengantin laki—laki
baik menyangkut bibit, bobot dan bebetnya. Sehingga, proses selabar ini
meruapakan tahap silaturrahim awal pihak keluarga calon mempelai laki-laki
kepada pihak keluarga calon mempelai wanita.
4.
Nuntut Wali
Setelah proses selabar dapat
diterima, pada hari yang telah disepakati keluarga calon mempelai laki-laki
akan berkunjung kembali untuk membicara hari pelaksanaan akan nikah. Bagi masyarakat suku Sasak di ,
perhitungan hari baik (urige) masih diutamakan. Sehingga, pada proses nuntut
wali ini akan dibicarakan tentang hari baik pelaksanaan akad nikah, mas kawin,.
NA, Surat Nikah dan sebagainya.
5.
Ngawinang/Nikahang
Masyarakat suku sasak meupakan
mayoritas pemeluk agama Islam. Oleh karena itu, pelaksanaan acara nikah harus
segera dilaksanakan dengan berpegang pada ketentuan agama dalam proses
pelaksanaannya.
6. Upacara
Sorong Serah Aji Krama
Puncak acara dari serangkaian prosesi
acara adat perkawinan pada masyarakat suku Sasak adalah upacara adat Sorong
Serah Aji Krama. Pelaksanaan acara Sorong Serah Aji Krama ini telah disepakati
pada saat pembicaraan Bait Janji.
Jika
dimaknakan, kata Sorong Serah Aji krama berasal dari kata Sorong Serah dan Aji
Krama. Sorong Serah merupakan kata majemuk yang berarti serah terima, sedangkan
Aji Krama terdiri atas kata Aji yang berarti nilai dan krama yang berarti adat
atau kebiasaan. Jadi, dapat dibatasi pengertian Sorong Serah Aji Krama sebagai
bentuk acara serah terima nilai adat yang telah dibiasakan.
Selain
pengertian di atas, ada juga yang berpendapat bahwa istilah aji krama
berdasarkan pada kata aji dan karma. Aji dimaknakan raja atau datu, sedangkan
krama berasal dari kata kraman yang bermakna sekumpulan orang-orang desa pada
satu wilayah kesatuan hukum. Istilah kraman pertama kali ditemukan pada
prasasti Dausa Pura Bukit Indra Kila pada tahun 864 saka (Pusat Penelitian
Arkeologi Departemen P dan K).
Di samping
dua pengertian di atas, istilah Aji Krama juga dimaknakan dari kata aji yang
berarti bapak dan krama yang berarti adat. Pada pengertian ini, aji karma
diartikan bapaknya adat. Dengan kata lain, makna acara sorong serah Aji Krama
merupakan prosesi wisuda atau peresmian atas kelahiran keturunan dari sebuah
perkawinan. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat suku sasak menganut paham
Patrialisme.
C.
Budaya
Islami dalam Upacara Adat Perkawinan (Sorong Serah) Pada Masyarakat Suku Sasak
1.
Pola
Pikir Religius dalam Hubungan Sosial Masyarakat Suku Sasak
Dalam menjalin hubungan dengan sesama
manusia, masyarakat suku Sasak selalu berpegang kepada kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan
semua manusia. Dengan pandangan bahwa semua manusia merupakan makhluk Tuhan
Yang Maha Esa, telah membuahkan sikap untuk selalu berbuat baik kepada sesama
manusia.
Demikian dekat hubungan antara
kebudayaan suku Sasak dengan tata nilai Islam sehingga dalam masyarakat suku
Sasak berkembang konsep “ Endeqne dengan Sasak lamun endeqne Islam”
Tekad untuk selalu memelihara
hubungan yang baik dan harmonis dengan sesama manusia telah membuahkan tata
nilai yang mengajarkan untuk selalu mengutamakan sikap terpuji seperti ; sikap
jujur,setia,berani dan suka berbuat baik kepada sesamaya, serta harus dapat
menghindari sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat baik tersebut,
yang dalam kehidupan masyarakat suku Sasak dinamakan maliq. Maliq merupakan sifat yang terlarang menurut adat dan
kesusilaan.
Penanaman sifat-sifat baik yang sesuai dengan
norma susila masyarakat ini dimulai semenjak bayi masih dalam kandungan,
setelah kelahirannya hingga ia kembali ke alam bakaq.
Sejalan dengan pola pikir dan pandangan masyarakat itulah,
maka upacara adat perkawinan
yang dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat suku Sasak khususnya di
Kecamatan Masbagik tetap berpegang pada norma-norma agama.
Dalam
pelaksanaan upacara adat perkawinan
terdapat berbagai tahapan-tahapan kegiatan sebagaimana telah diuraikan di atas,
Pada tahap-tahap kegiatan ini terlihat adanya hubungan yang sangat dekat antara
kebudayaan dengan tata nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, masih
sangat nampak sikap gotong royong yang kental
antarindividu dalam masyarakat. Pada setiap tahap prosesi adat
perkawinan, semua tetangga dan keluarga akan berkumpul untuk bekerja besama-sama mempersiapkan acara
tersebut. Semuanya akan dikerjakan bersma-sama secara gotong royong tanpa
mengharapkan imbalan.
Pola pandangan yang menganggap bahwa semua manusia adalah panjak Neneq (hamba Tuhan) telah membuahkan tata nilai
untuk tetap berbuat baik kepada sesama manusia. Alam semesta, bumi, langit
adalah milik bersama. Sehingga, berdasarkan pandangan ini dalam masyarakat suku
Sasak terlihat adanya hubungan yang sangat kental dengan nilai kebersamaan dan
kekeluargaannya. Sebagai satu bukti, meskipun masyarakat suku sasak mengenal
milik pribadi tetapi dalam pernyataan lisan, mereka akan selalu mengatakan sawah kita, kebun kita,
bahkan anak kita, dan sebagainya.
Sikap batin masyarakat suku Sasak khususnya di , cendrung pada anggapan bahwa segala sesuatu
merupakan milik bersama, dipelihara bersama dan dimanfaatkan bersama. Kenyataan
seperti ini telah melahirkan sistem gotong royong dan tolong menolong tanpa
mengharapkan imbalan. Sistem gotong royong dan tolong menolong ini dikenl
dengan istilah besiru.
Sikap kebersamaan dan kekeluargaan ini pun dapat dilihat dalam
pelaksanaan semua tahapan upacara adat
perkawin. Sifat kekeluargaan dan kebersamaan ini nampak dari tamu yang
hadir, Secara umum masyarakat suku Sasak sangat mengutamakan untuk mengundang
keluarga dan tetangga dekat.
2.
Makna Simbolis dan Kajian Nilai
Islami dalam Kelengkapan Upacara Adat Sorong Serah Aji Krama
Di samping melalui beberapa bentuk
pengungkapan di atas, nilai-nilai sosial dalam upacara adat Sorong Serah Aji Krama ini
diungkapkan pula melalui penggambaran-penggambaran. Penggambaran-penggambaran
ini diharapkan dapat dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran bagi
masyarakat.
Bagi
nenek moyang suku Sasak, pengungkapan nilai-nilai pilosofis dengan
penggambaran-penggambaran melalui media, merupakan salah satu alternatif yang
digunakan dengan pengungkapan makna yang tersirat di dalam penggambaran
tersebut. Misalnya saja melalui media benda seperti : bulan, matahari,
gunung, dan sebagainya.
Demikian pula dalam upacara adat Sorong Serah Aji Krama, tidak akan
lepas dari bentuk pengungkapan terhadap
nilai-nilai sosial dan agama yang diungkapkan melalui penggambaran-penggambaran,
baik dalam bentuk benda maupun pemakaian
bahasa.
Bentuk
penggambaran yang dalam upacara ini, menggunakan media benda-benda yang
mengandung makna pilosofis yang sangat tinggi. Makna pilosofis dalam kelengkapan utama upacara ini yang dikemas
dalam bentuk benda dengan makna yang terkandung sebagai berikut ;
a.
Aji
Krama
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
Aji Krama merupakan nilai kebiasaan yang diberikan kepada kelompok-kelompok
masyarakat sebagai bentuk penghargaan terhadap status sosial yang dimiliki.
Pembagian Aji Krama pada masyarakat suku Sasak berdasarkan pembagian
tingkatan kelompok masyarakatnya. Pembagian tingkatan
masyarakat ini dinamakan kasta atau dalam ilmu sosiologi dikenal dengan istilah
Stratifikasi Sosial.
Di samping itu, Pembagian Aji Krama memiliki hubungan
yang erat dengan masuknya agama Islam di
pulau Lombok. Karena itu, besarnya Aji Krama dilakukan berdasarkan pada jumlah
hitungan tasbih yang biasa digunakan, yaitu
99, 66, dan 33.Pemberian Aji Krama dengan nilai seperti ini merupakan
bentuk penghargaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat, sesuai dengan
fungsinya di dalam masyarakat.
Seorang raja, karena memiliki fungsi dan tanggung
jawab yang paling besar jika
dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, diberikan penghargaan
tertinggi. Demikian juga para pejabat, karena mempunyai fungsi dan tanggung
jawab yang lebih besar jika dibandingkan dengan orang-orang biasa/rakyat biasa,
diberikan penghargaan yang sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya.
Meskipun pada dasarnya manusia adalah sama, tetapi
masing-masing orang atau kelompok masyarakat pastilah memiliki fungsi dan
tanggung jawab berbeda dalam masyarakat.Berdasar pada pertimbangan inilah,
kemudian pembagian Aji Krama diberikan
secara berbeda bagi masing-masing kelompok masyarakat tersebut..
Pada awalnya, Aji Krama dalam masyarakat suku Sasak terbagi atas empat tingkatan Aji
(Nilai), dengan urutan yang disesuaikan dengan stratifikasi sosial dalam
masyarakatnya, yang meliputi :
Raden =
99 (dase wisakti/satus)
Permenak = 66 (sawidag sawidagsi/enem
dase enem)
Parawangse = 33 (katri dase katri / tigang dase tiga)
Jajar Karang = 10,400 (selakse samas)
Adapun perhitungan terhadap kajian nilai dari bentruk
pembagian Aji Krama di atas, dapat dikemukakan sebagaoi berikut :
No
|
Aji Krama
|
Perhitungan
|
Jumlah
|
Hasil Akhir
|
1.
|
99
|
9 x 9 = 81
|
8 + 8 = 9
|
9
|
2.
|
66
|
6 x 6 = 36
|
3 + 6 = 9
|
9
|
3.
|
33
|
3 x 3 = 9
|
9
|
9
|
Kajian nilai Islam yang dimaksud dalam perhitungan pembagian aji karma di
atas adalah setiap Aji Krama akan memiliki hasil akhir sama yaitu angka 9.
Dalam pandangan masyarakat suku Sasak, angka 9 merupakan nilai kemanusiaan.
Sedangkan nilai 10 sebagai nilai sempurna adalah nilai yang dimiliki oleh Allah
SWT.
Artinya, pada dasarnya setiap manusia yang dilahirkan di atas bumi ini
adalah sama,yaitu sebagai makhluk Allah yang diutus menjadi khalifah untuk
mengatur kehidupan di atas dunia ini.
Akan tetapi, menurut pandangan masyarakat suku Sasak bahwa atas kehendak
Allah SWT masing-masing kelompok manusia telah diberikan kemampuan yang berbeda
dalam pencapaian tingkat kemanusiaannya. Sehingga, dapat dikemukakan gambaran
sebagai berikut :
1. pada waktu dulu, kelompok masyarakat
yang memiliki Aji Krama 33 adalah kelompok masyarakat yang dalam kehidupan
sehari-hari hanya mengurus kehidupan diri dan keluarganya saja dan hanya
menerima segala kebijkan dan aturan pimpinan. Sehingga, dalam tataran bilangan
bacaan tasbih, kelompok masyarakat ini digambarkan memiliki tingkat kemanusiaan
hanya pada ucapan “Subhanallah”.
2. sedangkan kelompok masyarakat yang
memiliki bilangan Aji Krama 66, merupakan kelompok masyarakat yang memiliki
fungsi sebagai pelaksana kebijakan pimpinan/Raja. Mereka adalah para pemangku
jabatan tertentu dalam masyarakat.
Karena memiliki tugas dan fungsi dalam masyarakat, maka kelompok
masyarakat seperti ini diberikan dengan Aji Krama 66 sesuai dengan bilangan
tasbih kedua. Masyarakat dengan aji 66 ini digambarkan sebagai kelompok
masyarakat yang dalam ucapan tasbih telah mampu mencapai tingkat kemanusiaan
hingga ucapan “ Subhanallah, Walhamdulillah”
3.
demikian pula
dengan kelompok masyarakat tertinggi dalam massyarakat suku sasak, digambarkan
dengan Aji Krama 99. pemberian penghargaan dengan Aji Krama 99 disesuaikan
dengan tingkat tugas dan fungsi seorang pimpinan/Raja.
Seorang raja dan keluargaanya merupakan kelompok masyarakat yang memiliki
fungsi strategi sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat. Mereka adalah penentu
kebijakn dan peraturan yang akan menentukan nasib rakyatnya.
Demikian berat tugas dan fungsi seorang raja/pimpinan, shingga dalam
bilangan bacaan tyasbih diganmbarkan sebagai kelompok masyarakat yang telah
mencapai tingkat ” Subhanallah, Walhamdulillah, Allahu Akbar.
Sehubungan dengan pembagian Aji Krama di atas, dalam
masyarakat suku Sasak di , hanya mewarisi pembagian Aji Krama :33 dan 10.400.
pembagian Aji Krama ini dimiliki oleh kelompok Parawangse yaitu 33 (katri dase
katri / tigang dase tiga) dan Jajar Karang yaitu 10,400 (selakse samas).
Pembagian Aji Krama yang ada saat ini, ditentukan
pemakaiannya berdasar pada kebijakan dan
alasan-alasan yang sesuai dengan kepatutan bagi masyarakat . Pembagian Aji
Krama yang ada sekarang ini, semata-mata untuk menjaga kemurnian sebuah
keturunan.
Aji krama
terdiri atas tiga bagian, yaitu :
1.
Sesirah/Otak Bebeli
Sesirah
berasal dari kata Sirah yang artinya kepala. Sehingga, sesirah berfungsi
melambangkan jati diri dan nilai yang melekat pada keluarga pengantin pria
secara turun menurun. Sesirah biasanya ditandai dengan benda seperti emas,
perak atau perunggu. Pemakain logam mulia ini akan disesuaikan dengan status
sosial keluarga pengantin pria.
2.
Napak Lemah
Napak Lemah terdiri atas dua kata
yaitu kata napak yang berarti kaki dan lemah yang berarti tanah. Napak Lemah
bermakna menginjakkan kaki di tanah. Napak lemah merupakan simbol keberadaan
manusia yang diturunkan oleh Allah di muka bumi ini sebagai khalifatul ardi.
Tugas dan fungsi manuia dalam dunia
sebagai khalifatul ardi ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Ayat
Artinya : Dan tiada aku menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.
Manusia
diciptakan di atas bumi ini tidak hanya untuk mencari makan untuk bertahan
hidup. Karena sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki akal, manusia
membutuhkan lebih dari sekedar bertahan hidup. Manusia
membutuhkan kedamaian, perlindungan, penghargaan dan juga aktualisasi diri atas
potensi-potensi yang dimiliki.
Akan tetapi dalam melaksanakan
eksistensinya sebagai khalifah, manusia diajarkan untuk selalu ingat aka asal
penciptaannya yaitu tanah. Masyarkat suku Sasak juga diajarkan untuk selalu
ingat kematiannya. Sehingga,
tuntunan seperti ini akan menjadi pegangan bagi masyarakat suku Sasak dalam
berbuat dan bertingkah laku.
Nilai
pilosofis yang tertuang dalam napak lemah ini merupakan implementasi dari
tujuan agama yang tertuang dalam firman Allah SWT surat Al-Bayyinah ayat 5,
berbunyi :
Artinya :
padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus (QS, Al-Bayyinah:5) .
3.
Olen-Olen
Kata
olen-olen berasal dari kata len-len atau lian-lian yang berarti
lain-lain/berbeda. Olen-olen terdiri atas sejumlah kain yang yang diikat dengan
selendang dan diletakkan pada sebuah
peti.
Makna
olen-olen ini adalah : masyarakat suku Sasak yang mendiami sebagian besar pulau
Lombok ini hidup berkelompok-kelompok dan bertingkat-tingkat. Akan tetapi,
mereka tetap berada dalam satu kesatuan dengan ikatan kekeluargaan sebagai
masyarakat suku Sasak yang Islam.
Pola
pandangan kekeluargaan seperti ini sanghat sesuai dengan nilai Islami yang
dikemukakan dalam Al-Qur’an yang berbunyi :
Artinya
: Hai manusia, sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu dapat saling kenal mengenal (Al-Hujurat : 13).
Konsep
pandangan masyarakat budaya suku Sasak inipun diilhami oleh hadist Rasulullah
SAW yaitu :
Artinya :
Bahwasanya antara satu muslimin dengan muslim
yang lainnya adalah bersaudara.
Hubungan
yang sangat erat antara pelaksanaan hukum Islam dalam konsep budaya masyrakat
suku Sasak merupakan perwujudan implementasi konsep Islam dam budaya
tradisional kita.
b.
Arte Gegawan
Selain aji krama, dalam pelaksanaan
acara sorong Serah Aji Krama haruslah dilengkapi dengan benda-benda yang
disebut Arte Gegawan. Arte
gegawan memiliki makna barang-barang bawaan. Arte Gegawan merupakan symbol yang
mengandung pilosofis yang sangat tinggi. Arte Gegawan
terdiri atas :
1.
Salin Dede
Istilah
Salin Dede berasal dari kata Salin dan dede. Kata salin memiliki arti mengganti
sedangkan kata dede berarti mangasuh. Sehingga salin dede memiliki pengertian
mengganti untuk mengasuh.
Adapun
wujud dari salin dede ini adalah kain umbaq, ponjol, ceraken, kedogan (sabuk
nganak), semprong tereng,kain putih, benang kataq dan pisau kecil untuk hitanan
Makna utama
yang diwakili oleh Salin Dede dalam kegiatan upacara adat Sorong Serah Aji
Krama adalah serah terima tanggung jawab dari pihak keluarga pengantin wanita
kepada suaminya. Jika selama hidup sejak lahir hingga saat menikah, seorang
gadis merupakan tanggung jawab pembinaan ortang tuanya, maka setelah menikah
seorang wanita akan menjadi tanggung jawab suaminya.
Konsep pola piker seperti ini
merupakan pengejawantahan dari konsep Islami. Kita memahami bahwa konsep Islam
telah mengajarkan, “Apabila seorang
perempuan telah menikah, maka nafkahnya wajib ditanggung oleh suaminya” (Rasjid,
2000:375).
2.
Pemecat Sengkang
Wujud benda yang digunakan untuk
pemecat Sengkang adalah anting emas yang diletakkan pada sebuah nampan kecil.
Karena bagi masyarakat suku Sasak, seorang wanita yang sudah kawin tidak lagi
boleh menggunakan anting sebagai perhiasan.
3.
Penjaruman
Selain benda-benda di atas, dalam upacara adapt Sorong
serah Aji Krama terdapat sebuah benda berupa jarum dan benang. Benda ini
dinamakan penjaruman.
4.
Pelengkak
Pelengkaq merupakan denda yang dikenakan kepada pihak
pengantin laki-laki yang berani mengawini seorang gadis yang masih memiliki
kakak belum kawin.
5.
Babas Kuta
Babas Kuta atau Pembabas Kute merupakan denda yang
diwajibkan untuk dibayarkan oleh pihak pengantin laki-laki karena kehadiran
mereka padfa acara Sorong serah Sji Krama dan Nyongkolan menimbulkan kegaduhan
dan keramaian.
6.
Krama Desa
Karma desa adalah salah satu kewajiban yang harus
ditanggung oleh pihak pengantin laki-laki sehubungan dengan telah membawa
seorang gadis dari sebuah desa untuk dijadikan istrinya.
7.
Kor Jiwa
Seperti halnya krama desa, Kor Jiwa juga merupakan salah
satu kewajiban yang harus dibayarkan oleh pihak keluarga pengantin laki-laki
sebagai bentuk ganti rugi kepada kampong yang telah kehilangan warga sebab
sebuah perkawinan.
8.
Pecanangan / Penginang/Karas
Pecanangan
merupakan tempat diletakkannya kapur, sirih, pinang, gambir dan tembakau.
Di samping
itu, makanan bagi masyarakat suku Sasak merupakan sarana pembinaan solidaritas
kelompok masyarakat yang paling menonjol. Sahabat, kenalan ataupun setiap orang
yang datang bertamu, selalu dijamu dengan pecanangan.
Sikap dan
pola tingkah laku yang demikian itu dibentuk oleh pandangan hidup dan sistem
nilai dalam masyarakat yang berazaskan persaudaraan dan kebersamaan.
9.
Lanjaran
Dalam acara adat pada masyarakat suku
Sasak, Lanjaran/rokok merupakan perlengkapan adat yang harus tetap ada. Biasanya, rokok yang digunakan dalam acara
adat adalah rokok yang terbuat dari tembakau dilapisi dengan daun jagung.
No comments:
Post a Comment